Riwayat Banjir Bekasi Era Kerajaan dan Kolonial
Banjir Bekasi Era Kerajaan
Source of Writing: Cerita Rakyat
Abad 5 masehi, Raja Tarumanagara, Purnawarman bahkan membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati. "Sodetan ini untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian,". Jejak banjir juga tampak dari moda transportasi yang digunakan masyarakat Bekasi kuno untuk ber-aktivitas. Meski banjir langganan melanda, namun dampak yang ditimbulkannya tak begitu besar. Masyarakat kuno punya cara hidup yang bersahabat dengan alam, tunduk pada ketentuan alam. Mereka beradaptasi terhadap cara-cara alam bekerja, bukan menggagahinya dengan pembangunan yang mengabaikan dampak lingkungan.
"Selama berabad-abad masyarakat Bekasi hidup dengan mengandalkan Kali Bekasi menggunakan perahu. Jalan dan rumah yang berjejer dari Bogor sampai muara Bekasi menghadap ke sungai,". "Rumah dibangun di lokasi tinggi yang tak terjamah banjir. Kalau kena banjir, mereka membangun rumah panggung,".
Peradaban baru yang memperparah banjir
Memasuki Era Kolonial, pembangunan mulai merambah Bekasi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HW Daendels membabat lahan untuk membentangkan jalan raya Pantura Bekasi-Cirebon di awal 1800. Akhir 1800, dibangun rel kereta api dari Manggarai ke Kedunggedeh. "Moda transportasi mulai bergeser dari air ke jalan raya dan rel. Rumah mulai berpindah ke pinggir jalan. Jalan raya dan rel membuat jalan air terganggu, sehingga mulai banjir di sisi selatannya,".
Kali Bekasi dan Sungai Citarum mulai kerap meluap. Lahan pertanian langganan dilanda banjir. "Tahun 1920-an, Sungai Citarum ditanggul dan berhasil mengurangi banjir. Tapi, pada 1924, 1926, dan 1933, banjir menenggelamkan rumah, jalan raya (Batavia, Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Lemahabang, Kedunggedeh). Rel bergeser sampai bentuknya mengombak, jembatan rusak, rumah tenggelam,".
Banjir Bekasi Pascakemerdekaan
Banjir besar di Bekasi pasca-kemerdekaan terjadi perdana pada tahun 1961. "Sampai 200.000 warga Bekasi mengungsi. Jumlah itu mungkin separuh dari jumlah warga Bekasi kala itu,". Banjir 1961 jadi permulaan penyakit-penyakit merebak pascabanjir. Warga Kota Bekasi banyak terserang penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, seperti demam berdarah dan malaria. Wilayah Rawalumbu, yang merupakan kawasan rawa, jadi lokasi epidemi malaria setelah banjir surut.
Tahun 1973-1984, Pemerintah Kabupaten Bekasi (saat itu Bekasi belum terbagi menjadi kota dan kabupaten seperti sekarang) merampungkan pembangunan kali/kanal Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) buat mengatasi masalah banjir itu. "Setelah kanal CBL dibangun, air langsung surut, Bekasi bebas banjir. Karena CBL menyelesaikan banjir, pemerintah percaya diri akan bebas banjir,".
"Dampak lanjutannya, rawa-rawa di Kota Bekasi seperti tidak berguna lagi karena air sungai langsung menggelontor ke CBL," lanjutnya Merasa Bekasi tak akan banjir lagi sejak dibangunnya Kanal CBL, pemerintah pun membuka pintu lebar bagi pengusaha properti. Pembangunan kompleks perumahan pun terjadi dengan skala besar.
Banyak wilayah rawa dan bantaran Kali Bekasi yang mulanya berperan sebagai daerah tangkapan air lenyap berganti perumahan. Jejak-nya masih dapat ditelusuri dari nama wilayah, seperti Rawapanjang, Rawalumbu, dan Rawatembaga yang kini sudah bukan rawa lagi. "Tanah rawa di pinggir kali itu kan murah karena belum ada yang memiliki. Tanah negara,".
Permukiman di tepi sungai Dekade 1980-1990, pembangunan kian gencar di Jakarta. Ekspansi penduduk Jakarta ke Bekasi pun semakin nyata, menimbulkan permintaan yang tinggi akan kawasan perumahan. "Anda bisa lihat, Kemang Pratama, Kemang Ifi, Pondok Gede Permai, Vila Nusa Indah, Pondok Mitra Lestari (dulu Kemang View). Komplek elite itu semua di pinggir kali," jelas Ali, tak yakin bila perumahan-perumahan itu steril dari uang pelicin buat memuluskan izin dari pemerintah. "Perumahan yang dibangun, apakah legal atau ilegal itu, menutup lahan yang tadinya menyerap sehingga tidak bisa lagi meyerap karena ditutup sama beton,".
Masalah kian pelik setelah pemerintah pusat membangun Jalan Tol Jagorawi yang melintasi hulu Kali Bekasi. Pembangunan ini, menurut Ali, tak diimbangi dengan pembangunan sistem gorong-gorong yang lebar. Malah, ekses Jalan Tol Jagorawi ini menimbulkan berkembangnya perumahan dan industri, yang berarti mencaplok lagi daerah tangkapan air. "Kali Bekasi kian dangkal, sementara air amat deras melaju dari arah Puncak dan Bogor. Bendung Bekasi yang sudah tua kurang mampu menahan besarnya debit air dari Bogor dan Purwakarta (Kalimalang). Pembangunan polder air tak mampu menampung air hujan,".
"Dampaknya banjir besar menyergap Bekasi pada 2002. Kemudian banjir dengan skala lebih kecil tahun 2005, 2007, 2012, sebelum banjir lagi tahun 2020,".
Banjir Tahun Baru 2020 yang merendam 70 persen wilayah Bekasi dengan catatan kedalaman maksimal 6 meter seakan membawa pesan. Tak mau tahu perumahan atau bukan, air sungai akan selalu mendamba kembali ke rawa, bukan beton.
Source of Writing: Cerita Rakyat
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar